CERPEN
Bermain Tak Ingat Waktu
“Kita ulangan umum kapan sih?” tanya seorang gadis yang berambut pendek sebahu bernama Wati.
“Tanggal 20 Juni kalau ga salah, sekitar tiga bulanan lagi gitu. Emang kenapa?” tanya balik gadis yang bernama Sari tepat berada di samping kiri Wati.
“Berarti kita liburan kemungkinan empat mingguan lagi dong? Holiday kali ini mau ada planning ke mana ? Maen ke Dufan yuk?” ajak Wati.
“Jangan ke Anyer aja!” usul gadis manis berambut ikal panjang bernama Tiwi. “Enak loh di sana pemandangannya, oke banget! Pasirnya putih and airnya ga kotor udah gitu ada outbondnya lagi. Kita juga di situ bisa ikut banyak games, pokoknya asiklah!” tambahnya dengan mantab.
“Mmmm, ke pantai ya? Kenapa kita ga ke Bali aja sekalian?” gadis endut yang cantik berambut hitam tebal dan panjang bernama Rara ikut memberi usul.
“Hah?! Mata lu! Bali teh jauh ceu, berat di ongkos ah!” kata gadis berambut ikal sebahu bernama Dwi tak setuju.
Gadis lain di samping Dwi berambut kemerahan paling bocil bernama Sari ikut nimbrung, “Iya bener tuh kata Dwi, jauh banget lagian emang kita mau naik apa ke sana? Pesawat apa mobil? Peswat mahal, pulang pergi aja abis kali sekitar dua jutaan, blum ntar laper matanya di sana buat hunting cendera mata. Lima jutaan mah kudu megang lah. Kalau naik mobil pasti berhari-hari perjalanan cape ah.”
“Iya tar gue mabok lagi”, gadis berhidung pelatuk berambut panjang lurus bernama Vita di sebelah Tiwi pun ikut menimpali tak setuju.
“Hehe kan cuma usul”, cengir Rara.
Aku yang daritadi diam mendengar mereka berdebat hanya bisa tersenyum lucu, dasar temen-temen. Ulangan aja belum, udah mikir liburannya. Belum berakit-rakit ke hulu sudah memikirkan berenang-renang ke tepian nya. Haha dasar. “Hey, hey teman tau ga? Kita ulangan aja belum udah mikirin seneng-senengnya. Haha”, aku ikut nimbrung.
“Alah hidup tuh jangan dibikin pusing, jalanin dengan maksimal and enjoy aja. Kita kan masih muda coy!” jawab Rara.
Dasar Rara dari dulu sifatnya emang ga pernah berubah. Segala sesuatu dia jalanin dengan mudahnya. Itulah salah satu sifatnya yang lumayan unik. Ia selalu mengerjakan sesuatu dengan santai dan tak pernah ambil pusing tapi ia pun mengerjakan suatu hal tersebut dengan maksimal dan enjoy. Sehingga hasilnya pun akan maksimal pula. Namun, ada satu hal sifatnya yang kurang aku senangi, yaitu dia suka menganggap remeh. Rara itu pintar, sekali bapak guru menerangkan pelajaran Rara langsung bisa menyerapnya. Sedangkan aku, perlu penjabaran secara merinci baru pelajaran tersebut dapat aku pahami dengan betul. Namun, buah dari “pemahaman” saja tanpa pelatihan juga akan sia-sia. Rara itu kalau bapak guru memberikan tugas selalu menganggap remeh, dalam artian kurang peduli terhadap tugas tersebut sehingga tugas tersebut jarang sekali ia kerjakan padahal ia mengerti dan paham betul akan tugas yang diberikan bapak guru tersebut. Mungkin hanya beberapa tugas saja yang ia kerjakan karena gurunya killer. Karena dari pemahaman itulah, mungkin ia pikir ia bisa sehingga latihan pun tak usah. Tapi, pada saat ulangan anehnya dia bisa mengerjakan, dan jika aku tanya mengapa dia bisa begitu, ia akan menjawab “ya belajarlah, semaleman penuh gue belajar”. Ternyata dia belajar SKS alias sistem kebut semalam! Ckckck. Daripada belajar sistem kebut semalam ya mendingan belajar dicicil dengan cara latihan setiap guru-guru memberikan tugas. Tapi, entahlah mungkin itulah caranya belajar yang mungkin menurutnya lebih enak. Toh kita kan punya cara masing-masing dalam belajar yang nyaman bagi kita sendiri.
Selain itu, Rara juga anaknya teledor minta ampun. Sudah berapa kali kasus ia lupa menaruh handphonenya di mana. Saat Rara curhat akan hp nya yang hilang lagi entah berantah di mana kepada aku, Ina, Vita, Dwi, Wati, Sari, dan Tiwi kita bertujuh hanya akan menggeleng-geleng kepala dan mengetahui satu jawaban yang pasti yaitu pasti hp nya hilang tak jauh dari kamar tidurnya. Ya di bawah kasur lah, di bawah bantal, di bawah sprei, di lemari, di bawah tumpukan buku. Ya ampuunnnn.
“Well, jadi kita liburan mau kemana?” tanya ku.
“Kalau kata gue sih mending kita ke Dufan aja, gue lagi pengen yang ekstrim-ekstrim nih!” ujar Vita memberi pendapat.
“Kalau gue pengen ke Dufan pengen teriak aaaaaaaaaaaaaaa humpp” mulut Sari tiba-tiba dibekep sama anak-anak. Semua mata anak-anak yang sedang di kantin mendengar Sari teriak begitu, terang saja langsung menengok ke arah sumber suara. Aku, Vita, Tiwi, Ina, Rara, Dwi, dan Wati langsung menatap garang ke arah Sari. “hehe, buat negelepasin penat habis ulangan” sambung Sari lagi. Terkadang Sari itu kalau ngomong suka asal nyablak dan suaranya kayak toa.
“Ya tapi ga usah teriak di sini kali! Lebay tau gak. Haduh nahan malu da gue teh ama lu” tukas Wati dengan muka tampang sok sedih gitu sambil nepuk-nepuk kepalanya sendiri belaga ibu yang malu punya anak nakal. Kalau kalian liat tampangnya Wati saat ini kalian akan tertawa. Haha Wati tuh lucu. Dia selalu punya cara membuat anak-anak tertawa.
“Halah Sari mau ngilangin penat abis ulangan apa ngilangin penat abis putus ama si itu tuh?” goda Ina nyengir sambil menunjuk ke arah seorang cowok yang sedang membayar bakso berjarak kurang lebih lima meter dari kita.
“Iiih, Ina apaan sih kalau inget dia gue jadi sedih lagi kan!” rengek Sari kayak anak kecil.
“Si Ina mah da gadag!” ujar Dwi melempar plastik kosong bekas kerupuk ke arah Ina.
Emang kadang si Ina tuh kalau ngomong suka asal jeplak tanpa mikirin perasaan orang yang dia ajak ngomong udah gitu suka tulalit. Oh ya Ina juga memiliki sifat cuek dan perasaannya mati. Well, mungkin maksudnya perasaannya mati di sini lebih tepat ke kurang peka mungkin ya? Perasaannya mati mah berarti jahat dong?! Ga di ga jahat. Justru di sebenannya sangat baik. Dia disuruh ini itu ama orang mau aja. Contoh kasus: Ina arah pulangnya searah dengan Dwi mereka suka pulang bersama. Ina yang suka membawa motor dan Dwi yang duduk di belakang (istilah kasarnya penebeng). Si Ina biasa menitipkan motornya di rumah neneknya yang tak jauh dengan jarak sekolah (kebetulan sekolah kami memiliki peraturan siwa-siswi yang belum mempunyai SIM tidak boleh memarkir kendaraannya di sekolah). Sebagai penebeng Dwi seharusnya bila ingin pulang bersama dengan Ina, ia harus menemani Ina ke rumah neneknya untuk mengambil motor itu bukan? Tetapi, anehnya si Ina malah mau aja mengambil motornya sendirian di rumah neneknya dan kemudian menjemput Dwi di sekolah lagi. Yang repot siapa? Dia sendiri juga kan? Anehnya tuh orang malah tak merasa dirugikan sama sekali. Dan justru ia yang menyuruh Dwi untuk di sekolah dan Ina sendirian yang akan mengambil motornya di rumah neneknya. Lebih anehnya lagi adalah dia menjalani itu semua setiap hari dengan perasaan tulus ikhlas dan perasaan riang. Aku juga heran tuh anak hatinya terbuat dari apa ya? Ckck. Tapi sifat baik dari dia adalah dia tak pernah sakit hati atau tersinggung bila ada orang yang menghinanya (ya mungkin karena sifat cueknya itu).
“Hehe kan bercanda Sar” ujar Ina nyengir tanpa rasa bersalah.
“Ok, ok lupain. Jadinya mau ke mana nih liburan? Kalau gue sih setuju sama usulnya Tiwi buat ke Anyer. Tapi terserah juga sih. Kalian mau ke mana?”, bahas Rara kembali.
“Dufan!”, seru Vita.
“Iya Dufan!”, Dwi ikut menyetujui.
“Gue juga kayaknya lebih setuju ke Dufan aja”, Ina pun memeberikannya pendapat.
“Yaudah kalo gitu mah pasti jadinya ke Dufan, orang udah lima orang yang milih ke Dufan. Tinggal si Kiki doang yang belum milih. Lo mau ke mana Ki?”, ujar Tiwi.
“Kayaknya gue juga lebih setuju ke Dufan aja”, ujar ku memberi pendapat.
“Horeee! Yaudah berarti jadinya ke Dufan ya?” tegas Wati menanyakan kembali.
“Eh, eh tapi kita ke Dufannya nabung dong biar ga ngerepotin orang tua juga”, sela Rara memberikan gagasan.
“Eh ya tuh bener banget kita nabung aja dari sekarang trus juga kita belajar yang rajin dari sekarang, biar nanti kita dapet nilai raport yang bagus-bagus sama sering bantu orang tua. Biar nanti orang tua juga bakal ngizinin dengan ikhlas trus kali aja gitu dapet ongkos tambahan. Hehe”, ujar ku juga menyetujui gagasan yang diberikan Rara.
“By the way, ke sana mau naek apa?”, tanya Dwi.
“Pake mobil APV gue aja. Supir bisa pake supir langganan bokap gue. Tinggal nanti kalian patungan bayar uang tol, supir, sama bensin”, kata Sari memberikan solusi.
“Okelah jadi kita ke Dufan. Tinggal nabung, belajar yang rajin biar nilai raportnya bagus, sama sering bantu orang tua mulai dari sekarang demi lancarnya rencana ini.”, ujar Vita memberi kesimpulan.
***
Mulai dari rencana yang telah kita sepakati bersama kemarin, kita pun memulai nabung setiap hari yang jumlahnya ditentukan dua ribu rupiah per orang. Bila dikalkulasikan 2000 per hari selama 3 bulan yang berarti kurang lebih 90 hari, berarti kita akan memiliki uang sekitar 180.000 per orang yang kira-kira cukuplah untuk patungan uang supir, uang tol, uang bensin, dan uang tiket masuk ke Dufan. Uang ditabung di Rara, karena dia sebagai penggagas ide tersebut. Setiap harinya Vita, Dwi, Rara, Sari, Tiwi, Wati, Ina, dan juga aku mencoba melaksanakan segala seuatunya dengan baik, demi lancarnya rencana liburan yang telah kita rencanakan untuk pergi ke Dufan. Belajar dengan giat dan sering membantu orang tua merupakan bentuk usaha agar orang tua dapat memberi izin kepada kami semua.
Saat pembagian nilai raport, kami semua senang ketika melihat nilai raport kami tidak ada yang menurun. Hal ini tentu akan memperlancar rencana liburan kami untuk pergi ke Dufan.
Saat hari yang ditunggu-tunggu itu tiba, kami mempersiapkan segalanya dengan matang sebelum berangkat. Aku membawa beberapa makanan kecil dan makanan berat serta baju cadangan untuk di sana. Begitu pun teman-teman ku yang lain, mereka mempersiapkan segalanya dengan matang sebelum berangkat. Yang paling lucu adalah Wati, aku melihat dia membawa banyak sekali bawaan. Dia membawa 1 Liter Pocari Sweat dan membawa 1 jinjingan tupperware besar, haha seperti mau piknik saja. Sesampainya di sana, kami turun dari mobil dan pergi ke daerah ancolnya untuk memakan makanan berat yang kami bawa dari rumah. Kami sengaja membawa makanan berat dari rumah, karena kami tau harga makanan di sini mahal-mahal bisa mencapai dua kali lipatnya. Setelah merasa kenyang, kami pergi ke mobil lagi untuk menaruh tempat makanan. Wati yang membawa 1 liter Pocari Sweat dan jinjingan tupperware besarnya akhirnya ia tinggalkan di mobil dengan alasan ribet dan berat. Lagian masa iya mau have fun ke Dufan bawa-bawa jinjingan berat?! Haha kalau piknik ke gunung sih wajar-wajar aja.
Setelah menaruh tempat makanan berat di mobil, kami pun pergi ke Dufan. Kami memulai dengan manaiki Perahu Kora-Kora atau perahu ayun. Aku, Wati, Sari, Vita, Dwi, Rara, dan Tiwi mendapat posisi tempat duduk urutan ke 3 dari ujung perahu belakang, sedangkan Ina karena tidak muat tempatnya untuk berdelapan akhirnya ia mengalah duduk di belakang kami. Dia duduk pas sekali di belakang ku yang berarti urutan ke 2 dari belakang ujung perahu bersama di sebelahnya seorang nenek-nenek. Apa?? Nenek-nenek!! Ya ampun apa ga salah aku negeliatnya??
Perahu pun mulai diayunkan, dari mulai pelan-pelan, sedang, dan kemudian ayunannya semakin cepat. Semua penumpang Perahu Kora-Kora berteriak termasuk aku. Aaaa…… rasanya seperti akan jatuh dari langit! Aku berpikir ya ampun kapan aku menapak ke tanah lagi? Akhirnya lama-lama Perahu Kora-Kora pun memelankan ayunannya dan saat itu ku pikir akhirnya penderitaan itu tlah usai. Yang terus ku pikirkan saat menaiki Perahu Kora-Kora adalah ‘kapan perahu ini berhentinya?’. Tapi aku akui itu sedikit menguji adrenalin dan aku menyukainya. Setelah turun dari Perahu Kora-Kora teman-temanku berceloteh tentang argumen mereka setelah menaiki Perahu Kora-Kora tadi. Satu hal yang ingin aku tanyakan kepada si Ina, dia kan tadi duduk di sebelah nenek-nenek sewaktu menaiki Perahu Kora-Kora.
“In, tadi lo naik Perahu Kora-Kora di sebelah nenek-nenek ya? Astagfirullah gue mah meuni watir da ngeliatnya ge. Takut dia spot jantung di situ” ujar ku.
“Iya tuh bener banget Ki gue aja di situ teriak. Nenek-nenek di samping gue malah ga teriak sama sekali berasa naik ayunan kali ya tuh nenek-nenek. Abisnya ga ketakutan sama sekali” jawab Ina.
“Iya, mana duduknya di urutan ke dua dari ujung perahu belakang lagi. Gue aja yang urutan ke tiga udah deg-degan” timpal Vita.
Setelah itu, kami pergi menaiki Kicir - Kicir, oh tidak lebih tepatnya bukan kami tetapi hanya Rara, Tiwi, Wati, Sari, dan Vita saja yang menaiki Kicir - Kicir. Aku, Dwi, dan Ina tak sanggup menaiki Kicir - Kicir. Ngeliatnya aja udah stress duluan apalagi naikinnya. Aku melihat Vita, Wati, Tiwi, Sari, dan Rara mengantri untuk menaiki Kicir-Kicir. Sementara itu, aku memperhatikan orang-orang yang menaiki Kicir-Kicir. Mereka berteriak-teriak di atas tepat di hadapanku. Aku melihat alat (Kicir-Kicir) tersebut berputar. Kursi yang dinaiki oleh penaik Kicir-Kicir pun ikut berputar. Layaknya Bumi berputa mengelilingi matahari, tetapi Bumi pun berputar pada porosnya, kira-kira seperti itulah gambaran mnegenai cara-cara kerja Kicir-Kicir. Hanya saja Bumi mengelilingi matahari dan Bumi berputar pada porosnya kita tidak merasakan ikut berputar, sedangkan ini sangat terasa sekali! Aku melihat mereka berputar seperti kipas. Tak sanggup aku bila harus menaikinya. Setelah Rara, Tiwi, Wati, Sari, dan Vita selesai mengantri, mereka pun naik. Aku yang di bawah mereka, menyaksikan mereka berteriak ketakutan menaikinya. Tak berapa lama kemudian, mereka pun turun.
Rute berikutnya kita pergi ke Air Terjun Niagara. Karena kami berjumlah delapan semuanya dan tempak duduk untuk perahu niagara hanya cukup untuk empat orang, kami membagi dua jumlah kami menjadi empat-empat. Aku duduk bersama Vita, Ina, dan Wati. Aku duduk di urutan ke dua, Vita di yang pertama, Ina di belakangku, dan Wati paling belakang. Perahu pun mulai dijalankan. Saat menaiki tanjakan sih rasanya biasa aja, tapi pas turunnya itu loh. Huaahh serasa mo copot jantung! Vita yang duduk di depan ku setelah menaiki niagara hanya mengeluh saja, karena bajunya paling basah. Itulah resikonya duduk di paling depan, makanya aku memilih tempat duduk yang ke dua karena aku tau bila aku memilih tempat yang pertama pasti akan terkena paling basah seperti yang dialami Vita. Aku juga tidak memilih tempat duduk yang ke tiga dan yang paling belakang karena aku tak suka berada di belakang.
Puas menaiki niagara, karena baju kami terlanjur basah kami lanjutkan dengan bermain arung jeram. Tempat duduknya berjumlah 8 kursi, yang berarti pas sekali dengan jumlah kami. Menaiki arung jeram membuat kami basah semua, benar-benar basah dan kali ini adil kita semua terkena basah. Kalau niagara tadi, yang paling depan saja akan terkena paling basah, sedangkan yang dibelakangnya paling terkena basah sedikit dan sekarang kita semua benar-benar basah. Karena dirasa tak nyaman mengenakan baju basah, kami semua pergi ke tempat ganti baju untuk ganti baju.
Setelah ganti baju, Vita, Rara, Tiwi, Dwi, Sari, dan Wati ingin langsung menaiki roller coaster/halilintar. Tetapi, aku dan Ina tidak ikut, awalnya aku ingin ikut tetapi setelah melihatnya entah kenapa nyali ku jadi surut. Mereka memaksa aku dan Ina untuk naik, tetapi aku dan Ina tetap tak mau naik. Mereka mengatakan kepada kami berdua buat apa jauh-jauh, kalau ke sini ga naik tantangan yang benar-benar menantang sepert haliliintar ini, tapi aku tetap tak mau karena yang tau diriku siap atau tidak ya cuma aku sendiri begitu pun dengan Ina dia juga tetap tak mau. Mereka pun mengalah, dan pergi aku dan Ina ingat bahwa kami belum solat zuhur, kebetulan saat itu sudah jam setengah dua. Kami pun bilang kepada mereka untuk nanti ketemuan di musholla saja karena kami akan solat zuhur sementara menunggu mereka. Mereka pun mengiyakan.
Kami bertemu di musholla setelah mereka selesai menaiki halilintar. Perjalanan berlanjut, ke rumah kaca, rumah miring, perang bintang, dan alap-alap. Di rumah kaca, perang bintang, dan rumah miring mah hanya begitu-begitu saja kalau menurut ku, kurang begitu seru, sedangkan alap-alap semacam mini roller coater, ya lumayanlah. Saat kami akan melanjutkan ke tempat permainan pontang panting, di tengah jalan ada badut monyet-monyetan empat. Tiba-tiba, Wati (istilah Sundanya ‘ngejebe’) menjulurkan lidah kepada ke empat monyet tadi. Dia memang jahil sekali ditambah mungkin tampang kami semua meledek seperti yang menertawakan padahal maksud aku, Vita, Ina, Sari, Rara, Tiwi, dan Dwi menertawakan itu menertawakan Wati. Tiba-tiba dua badut monyet dari mereka mengejar kami semua. Hhhuaaa terang aja kami semua pada kabur, lucunya Wati yang paling dikejar-kejar tuh badut monyet. Lagian dia jahil banget sih. Badut-badut monyet tersebut hanya mengejar kami tak jauh. Dari kejauhan kami melihat badut-badut monyet itu tertawa menertawakan kami. Terlihat sekali dari gerak tubuh mereka angguk-anggukan, geleng-geleng kepala, dan perut yang bergerak naik-turun.
“Hhh hhh sialan tuh badut monyet kenapa ngejar-ngejar gue hhhh hhh sampe segitunya!” keluh Wati sambil masih ngos-ngosan.
“Dikira temennnya kali haha. Lagian elo ngapain ngejebe ke mereka coba!,”, ledek Ina sembari menyalahkan Wati.
“Tau lo Wati ada-ada aja haha kita semua jadi kena tau” ujar Dwi menyalahkan sambil ikut tertawa.
Sembari berjalan menuju tempat pontang-panting, kami semua menertawakan kejadian yang tadi kami alami barusan. Gokil! Tak lama kemudian kami pun sampai di tempat. Kami pun segera saja mengantri sambil bercakap-cakap masih tentang kejadian gokil tadi. Antrian pun akhirnya sampai pada kami, segera saja kami semua naik. Aku naik berpasangan dengan Ina. Mesin pontang-panting pun mulai dijalankan membanting kami semua. Ya ampun rasanya benar-benar dibanting! Sakit badan!
Setelah menaiki pontang-panting Vita, Dwi, Tiwi, Sari, Wati, dan Rara ingin menaiki tornado, aku dan Ina kembali tak mau ikut lagi. Mereka pun memaksa lagi dengan alasan yang tadi mereka utarakan saat kami tak ingin naik halilintar dan kali ini mereka lebih memaksa. Mereka bilang sayang pergi jauh-jauh dan mahal-mahal kalau ga naik apa-apa. Hey! Wait a minute! Enak aja kita dibilang ga naik apa-apa. Sudah banyak games yang aku dan Ina ikuti, perahu kora-kora, air terjun niagara, alap-alap, perang bintang, rumah miring, rumah kaca, arung jeram, dan pontang-panting. Kalau ga naik apa-apa itu yan kami ga naik atau mengikuti satu pun games di sini. Aku tetap bersikukuh tak ingin menaikinya begitu pun dengan Ina. Aku melihat mesin tornado seperti pemanggang dan orang-orang yang menaikinya seperti daging yang di bolak-balik untuk dipasak. Aku tahu aku tak akan sanggup menaikinya, oleh karena itulah aku menolak ajakan Vita, Dwi, Tiwi, Sari, Wati, dan Rara untuk naik tornado. Setiap orang kan memiliki pendapat dan penilaian sendiri yang mungkin berbeda-beda terhadap suatu hal, dan inilah pendapat dan penilaian ku tentang apa yang aku lihat adan ku putuskan bahwa aku tak akan menaiki tornado karena aku tak menyukainya. Akhirnya mereka pun pergi sementara itu aku dan Ina jalan-jalan saja di sekitar Dufan.
Kami janjian ketemuan di tempat Wolferin untuk menonton Wolferin Show. Pertunjukannya keren banget banyak atraksi-atraksi gitu, hanya saja yang membuat kami sedih adalah pertunjukan itu menggunakan bahasa ingris dan tidak ada translatenya di layar.
Setelah menonton Wolferin, kita lanjut ke tempat Xtrim-log, antriannya panjang banget! Sambil mengantri kami mengobrol-ngobrol dan bercanda. Hanya Vita yang dari semenjak menaiki tornado yang tampak diam saja.
“Vita kenapa diem aja daritadi? Mual?”, tanya Tiwi.
“Ya pusing”, jawabnya sedikit.
“Ada yang bawa minyak kayu putih ga?”, tanya Sari ke anak-anak.
“Nih gue bawa”, ujar Wati sambil menyodorkan minyak kayu putih ke Vita.
Lalu Vita pun mengusapkan minyak kayu putih tersebut ke jidat dan ke leher lalu sedikit ke telinga. Tiba-tiba....
“Ya ampun anting gue sebelah lagi ilang!”, seru Vita.
“Hah? Mana? Ya ampun ilang dari kapan itu?”, tanya Dwi.
“Ga tau tapi kayaknya pas abis naek tornado deh ilangnya. Soalnya tadi pas naik pontang-panting mah masih ada gue pegang teh. Huh mampus di marahin deh gue! Yaudahlah” keluh Vita pasrah.
“Ya ampun ada-ada aja”, ujar Rara.
Kami lanjutkan dengan mengobrol dan bercanda selama menunggu antrian dan hanya Vita yang masih tampak jengkel, kami pun ikut merasa menyesal akan hal tersebut. Antriannya panjang sekali, kurang lebih perlu waktu satu jam baru kami dapat masuk. Setelah puas ke Xtrim-log ternyata jam telah menunjukan pukul 18.15 ya ampun udah malem! Aku ingin cepat-cepat pulang, tapi Rara bilang tanggung kalau pulang sekarang mah, jam setengah 7 malem biasanya suka ada pertunjukan kembang api gitu. Akhirnya kami pun menunggu hingga jam setengah 7 untuk menonton kembang api. Memang keren sih kembang apinya. Setelah meononton, Wati ingin membeli oleh-oleh untuk adiknya. Ya sudah kami antar.
Pukul setengah delapan barulah kami ke luar dari Dufan. Di perjalanan tol Jakarta macet. Perlu waktu satu setengah jam menunggunya. Sial! Sudah jam berapa ini? Pikirku. Kalau terlalu malam nanti aku dimarahi. Akhirnya macet pun selesai memasuki kota Bekasi sepertinya si supir sudah mengantuk, tiba-tiba ia oleng sedikit hampir menabrak mobil di sebelahnya. Ya ampun! Akhirnya Sari memutuskan untuk istirahat dulu di rest area. Si supir minum kopi agar tidak ngantuk. Aku melihat jam, haduh sudah pukul setengah sepuluh malam ini mana rumah ku jauh di Klari. Lima belas menit kemudian barulah kita mulai melakukan perjalanan lagi.
Kira-kira sampai di Kota Karawang jam 22.45. Orang tua kami sudah ribut menelpon kami semua dengan marah.
Keluar dari tol Karawang Barat saat melewati tikungan jalan di daerah Tanjung Pura, tiba-tiba ban mobil belakang berdecit. Aku yang kebetulan duduk di kursi belakang, melihat ke belakang, dan ku lihat percikan api kecil keluar. Ya ampun bannya bocor! Percikan api kecil tersebut keluar mungkin dikarenakan gesekan antara si besi velk ban ke aspal. Si supir menghentikan mobilnya. Akhirnya kita berhenti dulu untuk memperbaikinya, untungnya Sari membawa uang cadangan.
Orang tua kami sudah ribut kembali menelpon kami semua dengan marah. Orang tua kami berpikir karena kita semua ini cewek ga enak kesannya kalau pulang terlalu malam sendirian. Aku melihat jam, waktu sudah menujukkan pukul setengah 22.30, pantas saja orang tua kami menelepon kami terus. Di tengah hiruk pikuk seperti ini Vita tiba-tiba muntah! Ya ampun menambah rasa kalut kami semua. Langsung saja Vita kami beri minyak angin dan kami tenangkan dia. Tak lama kemudian ban pun selesai diperbaiki, kami pun jalan kembali. Karena dirasa sekarang sudah terlarut malam dan orang tua kami daritadi sudah sibuk menelepon kami semua dengan khawatir, akhirnya Sari sebagai pemilik mobil, menyuruh pak supirnya untuk mengantar Wati, Ina, Tiwi, Dwi, Vita dan Rara ke rumahnya masing-masing. Kebetulan rumah ku dekat dengan rumah Sari sehingga gampanglah aku pulangnya. Akhirnya pukul 23.15 Wati, Ina, Tiwi, Dwi, Vita dan Rara telah diantarkan sampai rumah. Setelah itu barulah aku dan Sari pulang ke rumah. Jam 23.40 aku sampai di rumah, mama marah sekali. Ya ampun lagi cape-cape begini malah dimarahin tapi wajar sih memang salahku juga. Setelah mama puas memarahiku aku pun tidur.
Keesokan harinya karena libur sekolah, paginya kita sms-an tentang curhatan pengalaman kemarin. Kita semua kena marah, tapi ya memang sudah sepatutnya kita kena marah karena ini semua memang salah kita, bermain tak ingat waktu.
Pemilik pengalaman : saya sendiri
Sumber inspirasi : pengalaman pribadi
Tempat kejadian : di sekolah dan di Dufan
Waktu : saat liburan semester satu tahun lalu
Senin, 20 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar